Kata "Hadits" atau al-hadits menurut
bahasa berarti al-jadid (sesuatu yang baru), lawan kata dari al-qadim
(sesuatu yang lama). Kata hadits juga berarti al-khabar (berita), yaitu sesuatu
yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Kata
jamaknya, ialah al-hadist.
Secara terminologi, ahli hadits dan ahli ushul berbeda
pendapat dalam memberikan pengertian hadits. Di kalangan ulama hadits
sendiri ada juga beberapa definisi yang antara satu sama lain agak berbeda. Ada
yang mendefinisikan hadits, adalah : "Segala perkataan Nabi
SAW, perbuatan, dan hal ihwalnya". Ulama hadits menerangkan bahwa yang
termasuk "hal ihwal", ialah segala pemberitaan tentang Nabi SAW,
seperti yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan
kebiasaan-kebiasaanya. Ulama ahli hadits yang lain merumuskan pengertian hadits
dengan :
"Segala
sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir,
maupun sifatnya".
Ulama hadits yang lain juga mendefiniskan hadits sebagai berikut : "Sesuatu
yang didasarkan kepada Nabi SAW. baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir,
maupun sifatnya".
Dari ketiga pengertian tersebut, ada kesamaan dan perbedaan para ahli hadits
dalam mendefinisikan hadits. Kasamaan dalam mendefinisikan hadits ialah
hadits dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik perkataan maupun perbuatan. Sedangkan perbedaan mereka terletak pada penyebutan terakhir dari perumusan definisi hadits. Ada ahli hadits yang menyebut hal ihwal atau sifat Nabi sebagai komponen hadits, ada yang tidak menyebut. Kemudian ada ahli hadits yang menyebut taqrir Nabi secara eksplisit sebagai komponen dari bentuk-bentuk hadits, tetapi ada juga yang memasukkannya secara implisit ke dalam aqwal atau afal-nya.
dalam mendefinisikan hadits. Kasamaan dalam mendefinisikan hadits ialah
hadits dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik perkataan maupun perbuatan. Sedangkan perbedaan mereka terletak pada penyebutan terakhir dari perumusan definisi hadits. Ada ahli hadits yang menyebut hal ihwal atau sifat Nabi sebagai komponen hadits, ada yang tidak menyebut. Kemudian ada ahli hadits yang menyebut taqrir Nabi secara eksplisit sebagai komponen dari bentuk-bentuk hadits, tetapi ada juga yang memasukkannya secara implisit ke dalam aqwal atau afal-nya.
Sedangkan ulama Ushul, mendefinisikan hadits sebagai berikut :
"Segala
perkataan Nabi SAW. yang dapat dijadikan dalil untuk penetapan hukum syara’ ".
Berdasarkan
rumusan definisi hadits baik dari ahli hadits maupun ahli ushul, terdapat
persamaan yaitu ; "memberikan definisi yang terbatas pada sesuatu yang
disandarkan kepada Rasul SAW, tanpa menyinggung-nyinggung prilaku dan ucapan
shabat atau tabi’in. Perbedaan mereka terletak pada
cakupan definisinya. Definisi dari ahli hadits mencakup segala sesuatu yang
disandarkan atau bersumber dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, dan
taqrir. Sedangkan cakupan definisi hadits ahli ushul hanya menyangkut aspek
perkataan Nabi saja yang bisa dijadikan dalil untuk menetapkan hukum syara’.
Selain
Hadits, ada juga istilah yang mempunyai makna seperti Hadits, yakni :
1.
As-Sunnah
Sunnah menurut bahasa berarti : "Jalan dan kebiasaan yang baik atau
yang buruk". Menurut M.T.Hasbi Ash Shiddieqy, pengertian sunnah
ditinjau dari sudut bahasa (lughat) bermakna jalan yang dijalani, terpuji, atau
tidak. Sesuai tradisi yang sudah dibiasakan, dinamai sunnah, walaupun tidak
baik.
Berkaitan dengan pengertian sunnah ditinjau dari sudut bahasa, perhatikan sabda
Rasulullah SAW, sebagai berikut :
"Barang
siapa mengadakan sesuatu sunnah (jalan) yang baik, maka baginya pahala Sunnah
itu dan pahala orang lain yang mengerjakan hingga hari kiamat. Dan barang siapa
mengerjakan sesuatu sunnah yang buruk, maka atasnya dosa membuat sunnah buruk
itu dan dosa orang yang mengerjakannya hingga hari kiamat" (H.R.
Al-Bukhary dan Muslim).
Sedangkan, Sunnah menurut istilah muhadditsin (ahli-ahli hadits) ialah segala
yang dinukilkan dari Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, maupun berupa
taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik yang demikian itu
sebelum Nabi SAW., dibangkitkan menjadi Rasul, maupun sesudahnya. Menurut
Fazlur Rahman, sunnah adalah praktek aktual yang karena telah lama ditegakkan
dari satu generasi ke generasi selanjutnya memperoleh status normatif dan
menjadi sunnah. Sunnah adalah sebuah konsep perilaku, maka sesuatu yang secara
aktual dipraktekkan masyarakat untuk waktu yang cukup lama tidak hanya
dipandang sebagai praktek yang aktual tetapi juga sebagai praktek yang normatif
dari masyarakat tersebut.
Menurut Ajjaj al-Khathib, bila kata Sunnah diterapkan ke
dalam masalah-masalah hukum syara’,
maka yang dimaksud dengan kata sunnah di sini, ialah segala sesuatu yang
diperintahkan, dilarang, dan dianjurkan oleh Rasulullah SAW., baik berupa
perkataan maupun perbuatannya. Dengan demikian, apabila dalam dalil hukum syara’ disebutkan al-Kitab dan as-Sunnah, maka yang dimaksudkannya
adalah al-Qur’an dan Hadits.
Pengertian Sunnah ditinjau dari sudut istilah, dikalangan
ulama terdapat perbedaan. Ada ulama yang mengartikan sama dengan hadits, dan
ada ulama yang membedakannya, bahkan ada yang memberi syarat-syarat tertentu,
yang berbeda dengan istilah hadits. Ulama ahli hadits merumuskan pengertian
sunnah sebagai berikut :
"Segala
yang bersumber dari Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir,
tabiat, budi pekerti, atau perjalanan hidupnya, baik sebelum diangkat menjadi
Rasul, seperti ketika bersemedi di gua Hira maupun sesudahnya".
Berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas, kata sunnah
menurut sebagian ulama sama dengan kata hadits. "Ulama yang mendefinisikan
sunnah sebagaimana di atas, mereka memandang diri Rasul SAW., sebagai uswatun
hasanah atau qudwah (contoh atau teladan) yang paling sempurna, bukan sebagai
sumber hukum. Olah karena itu, mereka menerima dan meriwayatkannya secara utuh
segala berita yang diterima tentang diri Rasul SAW., tanpa membedakan apakah
(yang diberitakan itu) isinya berkaitan dengan penetapan hukum syara atau tidak. Begitu juga mereka tidak melakukan pemilihan
untuk keperluan tersebut, apabila ucapan atau perbuatannya itu dilakukan
sebelum diutus menjadi Rasul SAW., atau sesudahnya.
Ulama Ushul Fiqh memberikan definisi Sunnah adalah
"segala yang dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW., baik berupa perkataan,
perbuatan maupun taqrirnya yang ada sangkut pautnya dengan hukum". Menurut
T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, makna inilah yang diberikan kepada perkataan Sunnah
dalam sabda Nabi, sebagai berikut :
"Sungguh
telah saya tinggalkan untukmu dua hal, tidak sekali-kali kamu sesat selama kamu
berpegang kepadanya, yakni Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya" (H.R.Malik).
Perbedaan pengertian tersebut di atas, disebabkan karena
ulama hadits memandang Nabi SAW., sebagai manusia yang sempurna, yang dijadikan
suri teladan bagi umat Islam, sebagaimana firman Allah surat al-Ahzab ayat 21,
sebagai berikut :
"Sesungguhnya
telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu".
Ulama Hadits membicarakan segala sesuatu yang berhubungan
dengan Nabi Muhammad SAW., baik yang ada hubungannya dengan ketetapan hukum
syariat Islam maupun tidak. Sedangkan Ulama Ushul Fiqh, memandang Nabi Muhammad
SAW., sebagai Musyarri’, artinya pembuat undang-undang
wetgever di samping Allah. Firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Hasyr ayat 7 yang berbunyi:
"Apa
yang diberikan oleh Rasul, maka ambillah atau kerjakanlah. Dan apa yang
dilarang oleh Rasul jauhilah".
Ulama Fiqh, memandang sunnah ialah "perbuatan yang
dilakukan dalam agama, tetapi tingkatannya tidak sampai wajib atau fardlu. Atau
dengan kata lain sunnah adalah suatu amalan yang diberi pahala apabila dikerjakan,
dan tidak dituntut apabila ditinggalkan.
Menurut Dr.Taufiq dalam kitabnya Dinullah fi Kutubi Ambiyah
menerangkan bahwa Sunnah ialah suatu jalan yang dilakukan atau dipraktekan oleh
Nabi secara kontinyu dan diikuti oleh para sahabatnya; sedangkan Hadits ialah
ucapan-ucapan Nabi yang diriwayatkan oleh seseorang, dua atau tiga orang
perawi, dan tidak ada yang mengetahui ucapan-ucapan tersebut selain mereka
sendiri.
2. Khabar
Selain istilah Hadits dan Sunnah, terdapat istilah Khabar dan Atsar. Khabar
menurut lughat, yaitu berita yang disampaikan dari seseorang kepada
seseorang. Untuk itu dilihat dari sudut pendekatan ini (sudut pendekatan
bahasa), kata Khabar sama artinya dengan Hadits. Menurut Ibn Hajar al-Asqalani,
yang dikutip as-Suyuthi, memandang bahwa istilah hadits sama artinya dengan
khabar, keduanya dapat dipakai untuk sesuatu yang marfu, mauquf, dan maqthu’. Ulama lain, mengatakan bahwa kbabar adalah sesuatu yang
datang selain dari Nabi SAW., sedang yang datang dari Nabi SAW. disebut Hadits.
Ada juga ulama yang mengatakan bahwa hadits lebih umum dari
khabar. Untuk keduanya berlaku kaidah ‘umumun
wa khushushun muthlaq, yaitu bahwa tiap-tiap hadits dapat dikatan Khabar,
tetapi tidak setiap Khabar dapat dikatakan Hadits.
Menurut istilah sumber ahli hadits; baik warta dari Nabi maupun warta dari
sahabat, ataupun warta dari tabi’in.
Ada ulama yang berpendapat bahwa khabar digunakan buat segala warta yang
diterima dari yang selain Nabi SAW.
Dengan pendapat ini, sebutan bagi orang yang meriwayatkan
hadits dinamai muhaddits, dan orang yang meriwayatkan sejarah dinamai akhbary
atau khabary. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa hadits lebih umum dari
khabar, begitu juga sebaliknya ada yang mengatakan bahwa khabar lebih umum dari
pada hadits, karena masuk ke dalam perkataan khabar, segala yang diriwayatkan,
baik dari Nabi maupun dari selainnya, sedangkan hadits khusus terhadap yang
diriwayatkan dari Nabi SAW. saja.
3.
Atsar
Atsar menurut lughat ialah bekasan sesuatu, atau sisa sesuatu, dan berarti
nukilan (yang dinukilkan). Sesuatu do’a
umpamanya yang dinukilkan dari Nabi dinamai: do’a
ma’tsur.
Sedangkan menurut istilah jumhur ulama sama artinya dengan khabar dan hadits.
Dari pengertian menurut istilah, terjadi perbedaan pendapat di antara ulama.
"Jumhur ahli hadits mengatakan bahwa Atsar sama dengan khabar, yaitu sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat, dan tabi’in. Sedangkan menurut ulama Khurasan,
bahwa Atsar untuk yang mauquf dan khabar untuk yang marfu.
Jumhur ulama cenderung menggunakan istilah Khabar dan Atsar untuk
segala sesuatu yang disandarkan kepada NAbi SAW dan demikian juga kepada
sahabat dan tabi’in. namun, para Fuqaha’ khurasan membedakannya dengan
mengkhususkan al-mawquf, yaitu berita yang disandarkan kepada sahabat
dengan sebutan Atsar dan al-marfu’, yaitu segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi SAW dengan istilah Khabar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar