Kawan Bergelut
Salah satu novel sastra (eh..bisa nggak disebut “novel” ?) kesukaan saya adalah “Kawan Bergelut” karangan Suman Hs. Saya sudah lupa persisnya apa yang dibahas di novel itu, tapi kalau nggak salah persahabatan putus-sambung antara dua anak manusia karena setiap kali mereka selalu berdebat seru tentang suatu masalah.
Nah, sore ini saya kembali mengingat-ingat kira-kira siapa sih sepanjang hidup saya adalah “kawan bergelut” saya, yaitu seorang teman yang lebih sering saya berdebat tentang suatu hal dengan dia daripada bekerja menyelesaikan suatu masalah…
Kawan bergelut yang pertama adalah seorang teman saya lain kelas sejak SMP. Pada saat saya melanjutkan sekolah ke SMA, kawan yang satu ini juga masuk di SMA yang sama. Karena kawan ini berasal dari luar kota, pada suatu sore hari sewaktu saya sedang bersepah di Jalan Panglima Sudirman di kota saya dia kebetulan sedang naik becak di jurusan yang sama. Sambil mengobrol di jalan, saya bersepeda dia naik becak, tiba-tiba ia bilang “Kayaknya saya harus kost di rumahmu nih”. Lho, emang dia itu siapa ? Anaknya jenderal belang ? Sayapun berdusta bahwa di rumah saya kamarnya terbatas dan semuanya sudah ada penghuninya, walaupun tersisa 2 kamar di pavilyun rumah saya yang belum ditempati. “Wah..di rumahku nggak ada kamar lagi”, kata saya berbohong. Diapun bilang “Pokoknya sekarang ini dengan becak ini, saya mau pergi ke rumahmu dan pengin bertemu dengan ibumu !”, katanya setengah mengancam. Padahal kawan ini SMP dan SMA nya tidak sekelas dengan saya, saya tidak terlalu dekat dengannya yang terlalu “liberal” dan “borjuis”, maka saya berbohong tadi.
Akhirnya sore itu dengan becaknya ia benar-benar pergi ke rumah saya, bertemu ibu saya, dan entah apa yang dibicarakan dengan ibu saya yang jelas ia pakai bahasa yang sangat halus (kok tumben ?), dan ibu sayapun memanggil saya dan bilang. “Nak..temanmu ini mau tinggal di sini. Ya sudah kamar di pavilyun itu besok kamu bersihkan soalnya temenmu itu lusa sudah mau menempati”, kata ibu nggak kalah kalem. Oh my God, mimpi apa saya ya ?
Singkat kata, teman saya tadi akhirnya tinggal di rumah saya selama 3 tahun penuh semasa SMA. Dia hanya pulang kampung jika tanggal muda buat ngambil perbekalan berupa beras 20 kg untuk diberikan kepada ibu saya. Mengenai jumlah uang yang dia bayarkan kepada ibu saya juga saya nggak tahu. Yang jelas kawan tadi sering menggunakan Bapak dan Ibunya buat membujuk ibu saya supaya menerima teman saya tadi. Biasanya bapak dan ibunya datang menggunakan Jip Mambo (sebutan untuk kendaraan penggerak 4 roda buatan Mitsubishi)..
Sejak itu, pola hidup saya berubah. Tiba-tiba saya harus berlangganan koran KOMPAS, karena kawan tadi katanya senang membaca Kompas. Tiba-tiba pula saya juga jadi nonton film 4 kali seminggu, soalnya kawan tadi katanya tidak bisa tidur kalau tidak nonton film di gedung bioskop (untuk menyebutkan nggak bisa tidur kalau nggak nonton TV rupanya ia tidak tega, karena di rumah saya memang tidak punya TV). Tiba-tiba pula di depan kamar pavilyun didirikan papan tempat latihan menendang, sansak karung diisi pasir untuk latihan memukul, dan di tanah bertebaran batu bata, batu beneran, kayu, dan besi buat latihan pemukulan. Pokoknya nggak kalah sama Shaolin Temple deh !
Tapi yang membuat saya termotivasi membuat judul ini, karena kawan ini rupanya belum bisa tidur sebelum berdebat dengan saya sekurangnya 1 jam !!! Tempat berdebatnyapun di pinggir jalan, di waktu malam, dan sebenarnya tepat posisinya di depan kamar bapak saya yang terkenal galak setengah mati !!! Yang kami perdebatkan bisa olahraga, politik, seni, sampai ke astronomi dan astrofisik. Saya masih ingat di suatu malam terang bulan, kira-kira jam 9.30 malam ia ngajak keluar dan akhirnya kami berdebat tentang bagaimana sebuah wahana ruang angkasa memperoleh energi untuk mengelilingi bumi sampai beberapa puluh kali ? FYI, Apollo 13 mendarat di bulan tahun 1969 dan perdebatan ini terjadi tahun 1973, jadi hanya 4 tahun kemudian. Tinggal di kota kecil, tidak punya TV pula, tentu sulit bagi saya bagaimana memahami pesawat ruang angkasa bisa memutari bumi ratusan kali itu. Tapi yang jelas kami berdebat selama 2 jam, cuman berdua, dan sangat seru, dan bapak saya yang biasanya mau tidur diam saja, mungkin bapak juga mendengarkan apa yang kami perdebatkan, tapi tidak campur tangan.
Itu kawan bergelut saya yang pertama, kawan bergelut saya yang kedua adalah teman sekantor yang berasal dari Yogya.
Kawan kedua ini lain dengan kawan pertama. Kawan pertama latar belakangnya IPA, dan kawan kedua ini latar belakangnya IPS. Tapi kalau anda bertanya kepada kawan kedua ini tentang kuliner, politik, sastra, militer, kebudayaan, hal-hal kontemporer, pasti dia bisa menjawab dengan fasih, atau pura-pura fasih.
Kawan kedua ini hapal banget tentang Babad Tanah Jawi, perebutan kekuasaan di Majapahit, Jepang, Pajang sampai jaman kolonial di Jawa. Mengapa seorang raja melakukan sesuatu, ia juga hapal persis penyebabnya, walaupun sekurangnya dari pendapat dia sendiri. Masalah ilmu wilayah secara militer ia juga paham betul, apa beda Mataraman dengan Tapal Kuda dan kenapa seperti itu. Budaya dan kebudayaan ia juga hapal betul, tidak hanya kebudayaan suku-suku yang ada di Indonesia semuanya, tapi juga mengapa orang Inggris, Jerman, Perancis, dan Italia bersikap yang berbeda-beda tentang suatu issue. Bagaimana perebutan “kekuasaan” antara Amerika Serikat-Jepang-Cina tetap berjalan terus dari jaman baheula sampai jaman kini dan mengapa. Ia juga hapal bedanya antara Puritanism, Confucianism, Budhism, Hinduism, sampai ke agama samawi Judaism, Christianity, dan Islamism. Itu belum lengkap, ia juga hapal gradasi antara conservatism, pacifism, hawkism, liberal, sampai neo liberal.
Tapi dari kawan kedua ini yang saya ingat kata-katanya “Jok, situ jangan baca dan terpaku cerita Nagasasra dan Sabukinten terus, karena cerita SH Mintardja itu terlalu hitam-putih dan tidak ada abu-abunya. Yang baik tetap baik, dan yang jahat tetap jahat dari awal cerita sampai akhir cerita. Tapi baca Kho Ping Ho, tokohnya ada yang berpura-pura baik tapi jahat, dan tokoh yang kelihatannya jahat tapi baik. Kho Ping Ho lebih bisa menggambarkan manusia Indonesia pada kenyataannya dibandingkan dengan SH Mintardja”, katanya 25 tahun yang lalu. Dulu saya tidak mengerti apa yang dia katakan, tapi sekarang saya baru saja ngeh…
Dapatkah anda menebak siapa nama kawan bergelut saya yang pertama ? Dan siapa nama yang kedua ?
Selain itu, apakah anda juga punya kawan yang berperilaku seperti kawan bergelut bagi saya tersebut ? Siapa namanya dan mengapa alasannya dia bisa anda jadikan kawan bergelut ?
Tapi satu yang jelas, kalau anda punya kawan bergelut anda akan merasa hidup yang lebih hidup. Dan dunia tidak lengkap tanpa mereka itu…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar